Oleh
:
Ary
Widiyanto
RINGKASAN
Pertumbuhan
penduduk yang cepat, terutama di Jawa menyebabkan peningkatan dalam kebutuhan
makanan dan pakaian, kebutuhan tenaga kerja, dan kepemilikan tanah yang lebih
terbatas. Hal ini umum di kawasan hutan di Jawa. Keterbatasan faktor-faktor
produksi yang dimiliki oleh masyarakat memicu tekanan pada hutan, baik tanah
maupun hasil hutan (pohon / kayu) terutama perambahan hutan dan konflik
tenurial antara masyarakat sekitar hutan dan Perum Perhutani. Pengelolaan Hutan
Berbasis Masyarakat adalah sebuah program yang disusun untuk menyelesaikan
konflik tenurial dengan memberikan insentif ekonomi untuk masyarakat. Tulisan
ini bertujuan untuk memberikan contoh salah satu program PHBM di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Ciamis, yang
secara administratif terletak di Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar, Jawa Barat.
Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara, wawancara dengan pegawai Perhutani
dan pengambilan data sekunder berupa laporan tahunan Perhutani. Hasil studi
menunjukkan bahwa pada tahun 2011 dan 2012, kontribusi langsung dan tidak
langsung Perum Perhutani kepada masyarakat hutan sekitar 26,9 miliar dan 26,8
miliar, berturut-turut. Kontribusi ini memiliki hasil positif bagi peningkatan
pendapatan masyarakat sekitar hutan sekaligus mengurangi konflik tenurial
antara petani dan Perum Perhutani.
Kata kunci: CBFM, kontribusi, pendapatan,
petani
I.
PENDAHULUAN
Sejak tahun 1970-an, sistem pengelolaan hutan di
pulau jawa telah berubah dari manajemen kayu yang berkelanjutan menjadi
manajemen pengelolaan berbasis sumberdaya yang memprioritaskan hutan berkelanjutan
dan masyarakat pedesaan. Sistem
yang lama tidak cocok untuk mengelola hutan secara terus menerus karena tidak
mampu menyediakan lapangan kerja yang dibutuhkan oleh masyarakat pedesaan yang
umumnya miskin. Masyarakat pedesaan ini tergerak untuk melakukan gangguan
hutan.
Sistem baru yang dilakukan berdasarkan pendekatan
sosial kehutanan dilaksanakan melalui banyak program: pendekatan kemakmuran
(tahun 1971-1982), pembangunan masyarakat desa hutan (1982-1985), perhutanan
sosial (1985-1995), pemberdayaan masyarakat desa hutan (1995-2000) dan
pengelolaan hutan berbasis masyarakat (2000-sekarang) (Puspitojati, 2013).
Namun, gangguan hutan masih berlangsung karena hutan produksi dikelola untuk
kayu produksi hanya menyediakan pekerjaan terbatas di kawasan hutan.
Sabarnudin (2001) menyatakan bahwa over-exploitation, pembalakan liar dan
perambahan hutan merupakan faktor yang mendukung proses perusakan hutan di
Indonesia. Di Pulau
Jawa, tingkat kerusakan kawasan hutan
yang dikelola oleh Perum Perhutani telah mencapai hingga 320.000 ha pada tahun 2001 (Raharjo, 2005). Kondisi ini terjadi dengan
adanya tabrakan kebijakan ekonomi dan sosial politik mengenai sumber daya
hutan, yang akhirnya berujung pada masalah kemiskinan dan kesenjangan
masyarakat hutan. Pertumbuhan penduduk yang cepat, terutama di Jawa menyebabkan
peningkatan dalam kebutuhan makanan dan pakaian, kebutuhan pekerjaan, dan
kepemilikan lahan lebih terbatas. Hal ini umum terjadi di kawasan hutan di Pulau Jawa. Keterbatasan faktor produksi yang
dimiliki oleh masyarakat dapat memicu tekanan pada hutan, baik pada lahan
maupun produk hutan (pohon/kayu ).
Pengelolaan hutan mempertemukan konflik
kepentingan antara kewenangan pengelolaan hutan (pemerintah) dan masyarakat di
sekitar hutan. Raharjo (2005)
juga menyatakan bahwa ada konflik kepentingan hutan dan ekonomi konservasi dan
kepentingan masyarakat di sekitar hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Sesuai dengan Visi Perum Perhutani, sebagai pengelola hutan negara di Pulau Jawa, pengelolaan sumber daya hutan
harus dilakukan secara adil, demokratis, efisien, dan profesional dalam rangka
untuk memastikan suksesnya fungsi dan manfaatnya untuk kesejahteraan
masyarakat.
Salah satu dari program Perhutani adalah
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), bentuk kerja sama yang mengakomodir
kesediaan perusahaan, masyarakat hutan dan stakeholder lainnya untuk berbagi
sumber daya hutan sesuai dengan prinsip-prinsip keseimbangan, harmoni dan
kelestarian. Program PHBM adalah suatu bentuk konsep kehutanan sosial di mana
komunitas hutan yang terlibat aktif dalam pengelolaam hutan. PHBM adalah salah
satu bentuk manajemen hutan yang diharapkan untuk dapat bertindak sebagai
jembatan antara kehutanan, dan kepentingan masyarakat. Pelaksanaan agroforestri
di hutan produksi telah terbukti berhasil dalam meminimalkan gangguan hutan dan
meningkatkan pekerjaan bagi masyarakat pedesaan. (Ediningtyas, 2007;
Rachmawati, 2008; Budiarti, 2011). Di KPH (Kesatuan
Pemangkuan Hutan) Ciamis Jawa Barat, PHBM melibatkan pemangku kepentingan di
wilayah administratif kabupaten Ciamis dan kota Banjar, yakni pemda (dinas
kehutanan dan perkebunan), Perum Perhutani dan masyarakat sekitar hutan.
Program ini telah berjalan secara intensif selama 5 tahun
sejak tahun 2008. Tulisan
secara spesifik akan fokus pada aspek ekonomi, yaitu kontribusi program pada
pendapatan masyarakat dan keterlibatan
masyarakat dalam program PHBM.
Pengumpulan
data dilakukan melalui dua cara, wawancara dengan pegawai Perhutani dan
pengambilan data sekunder berupa laporan tahunan Perhutani.
II.
PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT
(PHBM) di KPH CIAMIS
Sistem agroforestry di Perum Perhutani secara
resmi diterapkan mulai tahun 1990 sejak terbitnya Surat Keputusan Direksi No
671 tahun 1990 tanggal 6 Juni 1990. Surat Keputusan ini kemudian direvisi dengan
SK Dewan Pengawas No.136 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM). (KPH Ciamis, 2012b).
PHBM adalah sebuah istilah baru yang muncul sejak
tahun 1990-an. Istilah ini sangat dipengaruhi oleh konsep PHBM yang
dikembangkan oleh DENR Filipina sejak tahun 1995 (Awang,
2003). Menurut Awang (2000) konsep tentang PHBM harus bertumpu pada filsafat
menyelesaikan konflik tanah antara masyarakat dan hutan Perhutani dan menjamin
keadilan sosial dan perlindungan sosial bagi masyarakat di pedesaan.
Mengedepankan peran kayu komersial, korupsi, dan
pemerintah yang tidak efektif menciptakan masalah ganda dalam manajemen hutan,
yaitu degradasi hutan dan kemiskinan. Masyarakat hanya menjadi objek
pembangunan hutan. Mereka tidak memiliki peran untuk berpartisipasi dalam
manajemen hutan. Guiang dkk (2001)
berargumentasi bahwa manajemen hutan berbasis masyarakat (PHBM) merupakan
sebuah paradigma kuat yang berevolusi keluar dari kegagalan tata kelola hutan
negara untuk menjamin kelestarian sumber daya hutan dan terdistribusi secara
merata dari akses ke dan manfaat dari hutan, karena PHBM mendukung penekanan
pada kebutuhan mendesak untuk memberdayakan dan melibatkan masyarakat dalam
manajemen hutan.
Dalam pelaksanaan
program PHBM, ada tiga aspek yang harus diperhatikan oleh para pemangku kepentingan, yaitu
lingkungan hidup , aspek sosial dan ekonomi. Pelaksanaan program PHBM
didasarkan pada tiga aspek yang akan menentukan tujuan program, secara khusus
yaitu kelestarian hutan dan masyarakat sejahtera. Salah satu faktor yang
mendorong diberlakukannya PHBM di wilayah KPH Ciamis adalah terjadi penjarahan
jati pada April 2008, di lahan seluas 15,20
ha Petak 83, RPH Cigugur, BKPH Cijulang KPH Ciamis yang merupakan petak rencana
tebangan tahun 2008 (KPH Ciamis 2008). Melalui berbagai upaya, termasuk dengan penegakan
hokum oleh aparat keamanan akhirnya masyarakat bersedia mengembalikan areal
hutan yang dirambah dan bahkan berpartisipasi dalam pengelolaan hutan. Sebagai imbalannya, masyarakat
mendapat kesempatan menanam kopi di bawah tegakan hutan. Kesediaan petani bekerja sama
mengelola hutan lindung tersebut diwujudkan melalui perjanjian kerjasama
pengelolaan hutan agroforestry bersama dengan masyarakat.
Berbagai
upaya dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Melalui proses yang panjang
akhirnya masyarakat bersedia mengikuti program PHBM yang dilaksanakan dengan pola agroforestry, dimana tanaman
milik warga ditanam dibawah tegakan hutan.
Ketentuan mengenai budidaya tanaman dibawah tegakan serta
hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam PHBM tercantum dalam Perjanjian
Kerjasama PHBM.
KPH Ciamis merupakan
salah satu di dalam program PHBM Perum Perhutani. PHBM memberikan alternatif
melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan dan memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk bersama-sama menjaga daya hutan dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan menjaga kelestarian hutan.
Hutan negara di kawasan
KPH Ciamis adalah 29.857,12 ha. Daerah KPH Ciamis berlokasi di wilayah
administratif Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar. KPH Ciamis terbagi menjadi lima
BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) yaitu BKPH Ciamis, BKPH Banjar Utara, BKPH Banjar
Selatan, BKPH Pangandaran dan BKPH Cijulang.
Tabel
1. Luas Hutan dan Jumlah LMDH di KPH Ciamis
No.
|
BKPH
|
Luas Hutan (ha)
|
Jumlah LMDH
|
1
|
Ciamis
|
5.776,15
|
36
|
2
|
Banjar Utara
|
3.117,99
|
15
|
3
|
Banjar Selatan
|
4.877,51
|
21
|
4
|
Pangandaran
|
6.785,59
|
16
|
5
|
Cijulang
|
9.299.88
|
14
|
|
Total
|
29.857,12
|
106
|
Sumber
: Perum Perhutani KPH Ciamis (2012)
Saat ini LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan)
yang telah terlibat dalam program PHBM sebanyak 106 kelompok LMDH di KPH
Ciamis. Saat ini di KPH Ciamis program PHBM sudah berjalan selama kurang lebih
5 tahun. Akan tetapi, hingga saat ini, belum diketahui apakah program tersebut
sesuai dengan harapan masyarakat dan sebenarnya memberikan manfaat bagi mereka. Di samping itu, program ini membutuhkan pengelolaan
kolaboratif antara Perum Perhutani dan masyarakat. Bagaimana hubungan
mereka berlanjut dan sejauh mana keterlibatan masyarakat dalam kerja sama itu,
merupakan hal penting untuk dipertimbangan dan dipahami untuk menyukseskan
program tersebut.
III. KONTRIBUSI
PHBM BAGI PENDAPATAN PETANI
Program
PHBM di KPH Ciamis telah berlangsung selama 5 tahun sejak 2008. Sejak mulai
berlangsungnya program, tidak banyak terjadi lagi gangguan terhadap hutan.
Tidak ada lagi penguasaan/pendudukan wilayah hutan dan perebutan lahan oleh
masyarakat. Kejadian yang masih terjadi hanyalah pencurian kayu kecil-kecilan
dalam jumlah yang masih sangat terbatas (Kartawa, 2014).
Kondisi
kondusif ini salah satunya dikaitkan dengan keberhasilan program PHBM di KPH
Ciamis. Dengan adanya program ini, masyarakat menjadi merasa memiliki hutan,
karena minimal dengan adanya dua faktor, yaitu: 1). Masyarakat
sekitar hutan (yang diwujudkan dengan LMDH), berhak untuk memanfaatkan lahan
hutan untuk bercocok tanam sesuai dengan lokasi oleh yang ditentukan oleh Perum
Perhutani dan 2).
Masyarakat memperoleh bagi hasil baik dari hasil kayu maupun non kayu yang
diberikan oleh perusahaan (Perum Perhutani). Dengan dua faktor tersebut masyarakat
ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan pengamanan hutan, terutama yang berada
di sekitar tempat tinggal, yang merupakan sumber penghidupan mereka.

Gambar 1. Salah satu contoh PHBM Jati-Pepaya di Desa
Bangunharja, KPH Ciamis
(Sumber: Ary Widiyanto, 2014)
Perjanjian
kerjasama PHBM dilakukan oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) dengan Lembaga
Masyarakat Desa Hutan (LMDH), yang merupakan gabungan dari beberapa kelompok
tani hutan (KTH) dan sekaligus mewakili petani yang berpartisipasi dalam PHBM.
Perjanjian kerjasama PHBM tersebut antara lain memuat hak dan kewajiban
masing-masing pihak dalam PHBM (Anonim 2012c).
1.
Hak dan kewajiban perusahaan
Perusahaan
(Perum Perhutani) berhak untuk (a) melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap
kegiatan PHBM, (b)
melakukan pengarahan, peneguran dan pencabutan hak pemanfaatan yang telah
diberikan kepada petani, (c) mendapatkan bagi hasil kopi sesuai kesepakatan dan
(d) mendapat bantuan dari petani untuk mengamankan hutan.
Kewajiban
perusahaan adalah (a) mengalokasikan lahan yang dibutuhkan oleh petani, (b)
mematuhi segala ketentuan yang telah disepakati dan (c) melakukan pembinaan
kepada petani.
2.
Hak dan kewajiban petani
Petani berhak untuk (a) memanfaatkan lahan di
bawah tegakan, (b) mengajukan pendapat, saran dan usul tentang pelaksanaan
PHBM, (c) mendapat pembinaan dan (d) mendapat bagi hasil kopi sesuai
kesepakatan.
Petani
berkewajiban untuk (a) memelihara tanaman pokok kehutanan, (b) membantu
pengamanan dan perlindungan kawasan hutan, (c) menyediakan bibit tanaman mereka
sendiri dan sarana pendukung lainnya dan (d) memberikan sebagian hasil produksi
kepada perusahaan dan pihak lain yang bekerja sama dengan besaran berbeda
tergantung komoditas yang ditanam oleh petani. Sebagai contoh Besaran bagi
hasil kopi adalah 15% untuk perusahaan, 2,5% untuk Pengurus LMDH, 80% untuk
petani dan 2,5% untuk Pemerintahan Desa.
Secara
garis besar ada dua kontribusi yang diberikan oleh Perum Perhutani kepada
masyarakat, yaitu kontribusi langsung dan kontribusi tidak langsung. Kontribusi
tidak langsung merupakan kontribusi yang diberikan oleh Perhutani kepada petani
berupa kebebasan untuk bercocok tanam di lahan Perhutani sesuai lokasi yang
telah ditetapkan.
Ada dua besaran kontribusi yang diterima oleh
petani pada kategori ini. Jika yang ditanam petani adalah tanaman tumpangsari
musiman (seperti padi, jagung, kacang-kacangan, singkong dan sebagainya), maka
hasil produksinya 100% menjadi milik petani. Tetapi jenis ini memiliki
kelemahan karena hanya maksimal dapat ditanam sampai dengan umur pohon utama
mencapai 2-3 tahun. Setelah itu, jika tajuk/tutupan pohon sudah lebar maka
tanaman-tanaman semusim yang umumnya membutuhkan banyak cahaya untuk pertumbuhan
sudah tidak dapat ditanam lagi.
Jika yang ditanam petani adalah tumpangsari
jenis buah-buahan atau tanaman yang dapat hidup dalam jangka waktu lama
(seperti kopi atau tanaman buah-buahan) maka hasil produksi yang didapat 80%
menjadi milik petani dan 20% menjadi milik perusahaan dan pengelola. Di KPH
Ciamis terdapat empat jenis kategori tidak langsung yaitu yang berasal dari
padi, jagung, kacang-kacangan dan lain-lain dengan nilai kontribusi lebih dari
1,7 milyar pada tahun 2011 dan 2012.
Kategori yang kedua adalah kontribusi
langsung, yaitu kontribusi dari Perhutani yang diberikan kepada petani berupa
uang bagi hasil (sharing) ataupun
bantuan lain seperti upah pekerjaan, pupuk, peralatan, bantuan teknis, dan
penyuluhan/pembimbingan. Perhutani mengelompokan kontribusi langsung ini
menjadi empat kategori yaitu:
1. Upah pekerjaan
Dalam melaksanakan kegiatannya, Perhutani
menggunakan tenaga masyarakat lokal yang mereka beri upah. Pada tahun 2011 dan
2012, kegiatan Perhutani masing-masing menyerap sebanyak lebih dari 10 ribu
tenaga kerja dan memberikan upah lebih dari 23 Milyar untuk setiap tahunnya.
Meskipun tidak berlangsung secara terus-menerus sepanjang tahun, tetapi dengan
jumlah tenaga kerja yang terserap dan upah yang diberikan cukup besar, hal ini
cukup membantu perekonomian masyarakat sekitar hutan sekaligus menggerakan
ekonomi lokal daerah sekitar hutan.
2. Bagi hasil produksi kayu
Jenis kayu yang ditanam oleh Perhutani dibagi
menjadi dua kelas, yaitu kelas Jati dan Kelas Rimba (Pinus, Mahoni). Bagi hasil
jenis ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu bagi hasil pada saat panen kayu
(akhir daur atau perjanjian kerjasama) dan bagi hasil ketika dilaksanakan
kegiatan penjarangan. Kontribusi bagi hasil kayu dapat memberikan tambahan
pendapatan kepada petani sekitar hutan sebesar lebih dari 984 juta pada 2011
dan lebih dari 966 juta pada 2012.
3. Bagi hasil produksi non kayu
Selain kayu, Perhutani KHP Ciamis juga
mempunyai kelompok usaha non kayu, yang antara lain berupa getah pinus dan
lebah madu. Jumlahnya tidak sebesar bagi hasil kayu karena jumlah lokasi
kegiatan yang tidak begitu banyak.
4. Kontribusi Lain
Kontribusi langsung jenis yang terakhir
meliputi bantuan teknis, penyuluhan, peralatan dan sebagainya diluar tiga
kategori yang pertama. Untuk meningkatkan ketrampilan dan keahlian petani dalam
melaksanakan program PHBM, perlu diberikan bimbingan teknis, pelatihan
ketrampilan, penyuluhan, dan bantuan peralatan. Nilai kontribusi atau bantuan
dari kategori ini cukup besar, yaitu 479 juta pada tahun 2011 tetapi turun menjadi
352 juta pada 2012.
Secara keseluruhan, nilai kontribusi langsung
dan tidak langsung yang diterima oleh petani dari Perhutani adalah lebih dari
26.9 milyar pada 2011 dan lebih dari 26.8 milyar pada 2012.
Secara rinci, kontribusi PHBM bagi pendapatan
petani dapat dilihat pada Tabel 2.

Berdasarkan evaluasi yang didapatkan melalui
kegiatan wawancara terhadap jajaran pimpinan Perhutani KPH Ciamis, adanya
kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap petani cukup
membantu perekonomian masyarakat sekitar hutan. Dengan adanya rasa memiliki
terhadap hutan sebagai sumber penghasilan (bagi sebagian petani merupakan
sumber penghasilan utama), maka mereka akan turut berkontribusi dalam menjaga
keamanan hutan, sehingga keamanan hutan meningkat dan konflik perebutan atau
penguasaan lahan oleh masyarakat dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan.
Perusahaan juga diuntungkan karena mereka
tidak perlu mengeluarkan dana yang besar untuk kegiatan patroli dan pengamanan
hutan. Selama kesepakatan kerjasama terus dijaga oleh kedua belah pihak
(Perhutani dan petani), serta kedua belah pihak merasa diuntungkan atau tidak
ada yang dirugikan, maka kerjasama ini dapat terus dilaksanakan karena petani
tidak perlu “menguasai” lahan untuk dapat memperoleh penghasilan.
IV.
KESIMPULAN
Program PHBM yang dilaksanakan oleh Perum
Perhutani sejak 2008 berhasil mengatasi pendudukan lahan hutan oleh masyarakat
sekaligus menekan angka pencurian dan penjarahan kayu di KPH Ciamis. Kunci
sukses dari program ini adalah kesediaan masing-masing pihak untuk mentaati
kesepakatan PHBM yang telah mereka buat.
Meskipun tidak dapat mengatasi permasalahan
ekonomi masyarakat sekitar hutan secara keseluruhan, program PHBM dapat
memberikan kontribusi yang dapat membantu perekonomian masyarakat. Sebagai
salah satu sistim manajemen hutan, program PHBM di KPH Ciamis dapat ditiru dan
dilaksanakan di wilayah lain di Pulau Jawa, bahkan di luar Pulau Jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Awang, S.A.
2000. Hutan Desa : Peluang Strategi dan Tantangan. Jurnal Hutan Rakyat Volume 3
(November). Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Awang, S.A.
2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Center for Critical Social Studies.
Yogyakarta.
Budianti,
S. 2011. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Desa Sekitar Hutan Terhadap Sistem
PHBM di Perum Perhutani (Kasus di KPH Cianjur, Perum Perhutani Unit III, Jawa
Barat. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Departemen Manajemen Hutan IPB, Bogor.
Carter, J. and
Gronow, J. 2005. Recent Experience in Collaborative Management : A Review
Paper. Center for International Forestry Research. Bogor.
Ediningtyas,
D. 2007. Kemandirian Masyarakat Desa Sekitar Hutan Dalam Melakukan
Usaha Agroforestri: Studi Kasus
Usaha Agroforestri Tanaman
Kopi di BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani
Unit III Jawa Barat dan Banten.
Thesis (Not Published). Sekolah Pascasarjana
IPB, Bogor.
Guiang,
E.S., Borlagdan, S.B., Pulhin, J.M. 2001. PHBM in Philippines : A Preliminary
Assesment. Institute of Philippine
Culture.
KPH Ciamis.2008. PersRelease Perambahan Hutan di KPH Ciamis.
KPH Ciamis. 2012a. Laporan Bidang
Implementasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) (Tidak
diterbitkan).KPH Ciamis. Perum Perhutani Unit III Jawa Barat.
KPH Ciamis. 2012b. Profil KPH Ciamis
2012. KPH Ciamis. Perum Perhutani Unit III Jawa Barat.
KPH Ciamis. 2012c. Perjanjian
Kerjasama PHBM Tentang Pemanfaatan Lahan di Bawah Tegakan Dengan Budidaya
Tanaman Kopi. KPH Ciamis. Perum Perhutani Unit III Jawa Barat.
KPH Ciamis. 2013. Public Summary Planning and Monitoring (Tidak diterbitkan).KPH
Ciamis. Perum Perhutani Unit III Jawa Barat.
Puspitojati,T. 2013. Agroforestry
Forest Estate: Whole Rotation Of Social Forestry. BPTA Ciamis Badan Litbang
Kementerian Kehutanan (Tidak Diterbitkan). Ciamis.
Rachmawati,
E. 2008. Kemitraan Antara Perum Perhutani Dengan PetaniVanili
Dalam Upaya Meningkatkan Pendapatan Petani: Studi Kasus Pengelolaan Sumberdaya
Hutan Bersama Masyarakat di Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten
Sumedang.Tesis ((Tidak Diterbitkan)). Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
Raharjo,
S.A.S. 2005. Evaluasi Program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat :
Studi Kasus di Kecamatan Tangen Kabupaten Sragen. Tesis. Magister Perencanaan
Kota dan Daerah. UGM. Yogyakarta.
Sabarnudin, S.
2001. Rekonsiliasi Nasional Untuk Menyelamatkan Hutan. Makalah Presentasi
Kelompok Pada Konggres Kehutanan Indonesia III. Jakarta.
Sumardamto, P.
2012. Community Based Forest Management : An Implementation of Community
Forestry Program in Gunungkidul Regency, Yogyakarta, Indonesia. Tesis. Magister
Perencanaan Kota dan Daerah (Tidak Diterbitkan) UGM. Yogyakarta.