Oleh:
Soleh Mulyana
Balai Penelitian
Teknologi Agroforestri
Jl. Raya Ciamis-Banjar
Km 4 Ciamis 46201 Tlp. (0265)771352 Fax (0265) 775866
e-mail:
solehmulyana@yahoo.co.id
RINGKASAN
Kabupaten Tasikmalaya
dan Ciamis dikenal sebagai wilayah penghasil komoditi produk hasil hutan rakyat
pola agroforestry terutama kayu dan kapulaga. Keadaan ini
seharusnya dinikmati serta dapat meningkatkan pendapatan para petani pengelola hutan rakyat pola agroforestri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik para petani serta
peranan kelembagaan kelompok tani hutan rakyat.
Metode yang digunakan adalah snowball sampling, wawancara dan diskusi. Hasil penelitian menunjukkan tidak sedikit
lembaga kelompok tani yang terbentuk karena tujuan tertentu semata atau tidak
didukung kemampuan sumber daya manusia (SDM) sehingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Para
petani skala kecil seringkali dituntut kebutuhan ekonomi sehingga komoditi yang
dihasilkan harus segera di pasarkan secara perorangan karena belum diakomodir
oleh lembaga. Keadaan ini menjadi peluang permainan harga oleh lembaga
pemasaran yang menyebabkan posisi tawar rendah ditingkat petani. Peranan pemerintah melalui pembinaan dan penyuluhan sangat diperlukan
untuk penguatan kelembagaan kelompok tani hutan rakyat (KTHR). Kelembagaan KTHR yang kuat diharapkan dapat menciptakan kelompok yang
mandiri dan berswadaya sehingga dapat berperan sebagaimana mestinya.
Kata Kunci: kondisi petani skala kecil, produk hasil hutan rakyat, posisi
tawar rendah
I.
PENDAHULUAN
Pengelolaan hutan rakyat pola agroforestri bagi
para petani skala kecil yang terjadi di Kabupaten
Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis merupakan salah satu upaya dalam rangka
memenuhi kebutuhan pangan, sandang maupun papan. Produk
unggulan yang dikembangkan adalah kayu dengan tanaman bawah kapulaga. Komoditi
tersebut selain untuk memenuhi kebutuhan lokal merupakan salah satu sumber
devisa negara terutama eksport ke Cina. Situasi ini seharusnya dapat
meningkatkan posisi tawar petani, namun yang terjadi sebaliknya posisi tawar di
tingkat petani masih tetap rendah. Keadaan ini terjadi diantaranya disebabkan
oleh bentuk produk serta sistem pemasaran yang berlaku. Sebagaimana dikatakan
Achmad et al. (2009), pemasaran komoditas hasil hutan rakyat masih
menghadapi beberapa permasalahan yang
antara lain: (1) dihasilkan oleh petani
dalam unit kecil-kecil; (2) produksi tergantung pada musimdan kebutuhan sosial
ekonomi produsen; (3) produk yang
dihasilkan tidak dapat secara langsung atau sulit melakukan penjualan langsung
ke konsumen akhir; (4) produk bersifat ruah atau memakan tempat (bulky); (5) untuk jenis-jenis tertentu
produk hanya bisa dijual disuatu tempat tertentu. Selain
itu rendahnya posisi tawar di tingkat petani bisa terjadi karena alur pemasaran
yang terlalu panjang yang melibatkan beberapa lembaga pemasaran. Seiring dengan pernyataan Setyaningsih
(2008) dalam Sundawati et al.
(2008) alur pemasaran suatu jalur atau hubungan yang dilewati oleh arus
barang-barang, aktivitas dan informasi dari produsen ke konsumen melibatkan
komponen yang membentuk suatu rantai pemasaran yaitu; produk, pelaku, aktivitas
dan input.
Sebenarnya posisi tawar rendah di tingkat petani dapat diatasi dengan
meningkatkan fungsi dan peran lembaga kelompok tani hutan rakyat (KTHR),
sehingga dapat melindungi, membantu serta mengakomodir kepentingan para
anggotanya. Sebagaimana dikatakan Rintuh dan Miar (2005) keberadaan
kelembagaan adalah tradisi dan pranata baru yang sesuai dengan tuntutan
pemberdayaan dan modernisasi maupun organisasi kelompok yang mampu menghasilkan
beragam produk yang dapat mengembangkan keunggulan kompratif (comparative advantage) atau keunggulan
kompetitif (competitive advantage).
KTHR dibentuk sebagai salah satu wadah untuk
meningkatkan kesejahteraan serta melindungi kepentingan para petani. Tidak
sedikit KTHR yang telah terbentuk tidak didukung oleh kemampuan
sumber daya manusia (SDM) yang memadai atau terbentuk karena termotivasi supaya
dapat menerima bantuan dari suatu keproyekan. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui
karakteristik para petani serta peran lembaga kelompok tani hutan rakyat.
II.
METODE PENELITIAN
A.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis.
Kegiatan penelitian dilakukan mulai dari bulan April sampai dengan bulan
Desember 2014.
B.
Pengumpulan Data dan Analisis
Data
Pendekatan penelitian menggunakan
teknik snowball sampling penelusuran terhadap lembaga
pemasaran yang terlibat dalam komoditi hutan rakyat (kayu dan kapulaga)
berdasarkan informasi awal hasil wawancara dari para petani pengelola hutan
rakyat. Pengumpulan data primer dilakukan dengan koordinasi, observasi dan
wawancara sedangkan data sekunder merupakan hasil berkoordinasi dengan instansi
terkait.
1.
Koordinasi
Koordinasi dilakukan ke kantor Kecamatan diperoleh data
sekunder mengenai gambaran umum keadaan wilayah serta masyarakat sekitarnya
sedangkan dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) dan Badan Penyuluh
Pertanian Perkebunan Perikanan dan Kehutanan (BP4K) mengenai keadaan lembaga
kelompok tani serta pola pengelolaan hutan rakyat.
2.
Observasi
Kegiatan observasi terhadap lahan garapan para petani untuk
mengetahui jenis tanaman yang dibudidayakan serta pola penanaman hutan rakyat.
3.
Wawancara
Kegiatan wawancara dilakukan dalam rangka mendapatkan data
karakteristik para petani yang terlibat dalam pengelola hutan rakyat meliputi:
umur, pengalaman, pendidikan, pola penanaman dan pemasaran. Jumlah responden
ditentukan secara porpusive sampling yaitu petani hutan rakyat yang
terlibat dalam lembaga kelompok tani sebanyak 60 orang.
4.
Analisis
Data
Data primer dan sekunder yang terkumpul
dianalisis secara deskriptif kualitatif.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Kondisi umum Kabupaten
Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis
Kabupaten
Tasikmalaya memiliki luas wilayah 271.252 ha, dengan jumlah penduduk sebanyak 1.705.763 orang terletak pada titik koordinat 7002’
dan 7050’ lintang selatan dan 108097’ dan 108025’
bujur timur. Seluas 13.05% bagian terletak pada dataran rendah dengan ketinggian dari 0 m - 200
m, dan seluas 86,95 % merupakan bukit
dan pegunungan dengan ketinggian 200 m - 2,168 m. Curah hujan 2.400 – 4.000 mm/tahun dengan suhu 180
- 350 C. Batas wilayah
sebelah Utara Kabupaten Ciamis dan Kota Tasikmalaya, sebelah Timur Kabupaten
Ciamis, sebelah Barat Kabupaten Garut dan Selatan Samudera Indonesia (BPS
Kabupaten Tasikmalaya, 2013). Sementara itu, Kabupaten Ciamis memiliki luas
wilayah 244.479,18 ha, dengan jumlah penduduk tercatat sebanyak 1.560.021
orang. Terletak pada titik koordinat 7041’ dan 7050’
lintang selatan dan 108020’ dan 108040’ bujur timur
dengan ketinggian dari permukaan laut mulai 0 – 1.000 m, curah hujan 2.500 –
4.000 mm/tahun dengan suhu 180 - 350 C. Kabupaten Ciamis
terbagi menjadi 36 kecamatan dengan batas – batas wilayah sebelah Utara
Kabupaten Majalengka, sebelah Timur Kota Banjar dan Jawa Tengah, sebelah Barat
Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya dan selatan Samudera Indonesia (BPS
Kabupaten Ciamis, 2013). Penggunaan dan peruntukan lahan di kedua kabupaten
disajikan pada Gambar 1.

(Sumber:
BPS Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis olah data 2014)
Gambar 1. Grafik Luas Penggunaan
Lahan dan Peruntukannya.
Gambar 1 menunjukkan hutan rakyat (HR) atau ladang mencapai luas 42,2%
(21,45% + 20,75%) dari luas wilayah kedua kabupaten menduduki urutan pertama
yang paling luas berdasarkan peruntukannya. Pengelolaan HR sebagian besar
merupakan lahan milik sehingga Kabupaten
Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis dikenal dengan hutan rakyatnya untuk wilayah
priangan timur.
B.
Karakteristik Responden
1.
Pengelolaan Hutan Rakyat
Secara umum petani mengelola hutan rakyat secara
agroforestri. Jenis tanaman yang
dibudidayakan sangat beragam mulai dari jenis tanaman pertanian, perkebunan dan
kehutanan. Penanaman yang beragam pada lahan satu hamparan bertujuan agar
kebutuhan baik itu jangka pendek maupun jangka panjang dapat terpenuhi.
Sebagaimana dikatakan Hardjanto (2003) dalam
Achmad et al.(2007) karakteristik
produksi komoditi agroforestri ditandai dengan variasi produksi tahunan,
variasi produksi musiman, konsentrasi geografis, dan variasi biaya produksi.
2.
Kondisi Responden
Responden merupakan anggota KTHR yang berasal dari tiga desa diperoleh
data identitas para responden meliputi:
umur, pengalaman usaha hutan rakyat, luas lahan garapan dan tingkat pendidikan
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kondisi sosial
ekonomi responden
1. Desa Cisarua Kecamatan Cineam Kabupaten
Tasikmalaya
|
|||||||
Umur (Th)
|
Jmlh (Org)
|
Pengalaman Usaha HR (Th)
|
Jmlh (Org)
|
Luas HR (Bata)
|
Jmlh (Org)
|
Pendi-dikan
|
Jmlh (Org)
|
30-35
|
-
|
0-5
|
-
|
100-250
|
2
|
-
|
4
|
36-40
|
2
|
6-10
|
3
|
251-300
|
3
|
SD
|
14
|
41-45
|
2
|
11-15
|
1
|
301- 350
|
2
|
SMP
|
2
|
46-50
|
3
|
16-20
|
2
|
351-400
|
3
|
SLTA
|
-
|
51-55
|
2
|
21-25
|
2
|
401-450
|
1
|
Sarjana
|
-
|
56-60
|
1
|
26-30
|
3
|
451-500
|
2
|
|
|
61-65
|
3
|
31-35
|
2
|
501-550
|
2
|
|
|
66-70
|
-
|
36-40
|
2
|
551-600
|
1
|
|
|
71-75
|
4
|
41-45
|
3
|
601-650
|
2
|
|
|
76-80
|
3
|
46-50
|
2
|
651 >
Up
|
2
|
|
|
|
20
|
|
20
|
|
20
|
|
20
|
2.
Desa Sodonghilir Kecamatan
Sodonghilir Kabupaten Tasikmalaya
|
|||||||
Umur (Th)
|
Jmlh (Org)
|
Pengalaman Usaha HR (Th)
|
Jmlh (Org)
|
Luas HR (Bata)
|
Jmlh (Org)
|
Pendi-dikan
|
Jmlh (Org)
|
30-35
|
-
|
0-5
|
-
|
100-250
|
2
|
-
|
4
|
36-40
|
-
|
6-10
|
2
|
251-300
|
4
|
SD
|
11
|
41-45
|
2
|
11-15
|
1
|
301- 350
|
1
|
SMP
|
3
|
46-50
|
2
|
16-20
|
2
|
351-400
|
2
|
SLTA
|
2
|
51-55
|
3
|
21-25
|
2
|
401-450
|
2
|
Sarjana
|
-
|
56-60
|
2
|
26-30
|
3
|
451-500
|
3
|
|
|
61-65
|
4
|
31-35
|
2
|
501-550
|
2
|
|
|
66-70
|
-
|
36-40
|
3
|
551-600
|
1
|
|
|
71-75
|
4
|
41-45
|
3
|
601-650
|
2
|
|
|
76-80
|
3
|
46-50
|
2
|
651 >
Up
|
1
|
|
|
|
20
|
|
20
|
|
20
|
|
20
|
3.
Desa Cimanggu Kecamatan Langkaplancar Kabupaten Ciamis
|
|||||||
Umur (Th)
|
Jmlh (Org)
|
Pengalaman Usaha HR (Th)
|
Jmlh (Org)
|
Luas HR (Bata)
|
Jmlh (Org)
|
Pendi-dikan
|
Jmlh (Org)
|
30-35
|
-
|
0-5
|
-
|
100-250
|
1
|
-
|
3
|
36-40
|
1
|
6-10
|
2
|
251-300
|
4
|
SD
|
9
|
41-45
|
-
|
11-15
|
1
|
301- 350
|
6
|
SMP
|
4
|
46-50
|
1
|
16-20
|
2
|
351-400
|
2
|
SLTA
|
3
|
51-55
|
3
|
21-25
|
3
|
401-450
|
2
|
Sarjana
|
1
|
56-60
|
2
|
26-30
|
3
|
451-500
|
1
|
|
|
61-65
|
6
|
31-35
|
3
|
501-550
|
1
|
|
|
66-70
|
3
|
36-40
|
3
|
551-600
|
-
|
|
|
71-75
|
3
|
41-45
|
2
|
601-650
|
2
|
|
|
76-80
|
1
|
46-50
|
1
|
651 >
Up
|
1
|
|
|
|
20
|
|
20
|
|
20
|
|
20
|
Sumber : data primer diolah (2014).
Responden merupakan anggota KTHR masing-masing sebanyak 20 orang: Saluyu sebanyak (66.7%) dari jumlah 30 orang, Budi
Luhur IV sebanyak (44,44%) dari jumlah 45 orang dan Taruna Tani Karya sebanyak
(57,14%) dari jumlah 35 orang. Para petani pengelola hutan rakyat didominasi
oleh usia ≥ 55 tahun, dengan pengalaman mengelola hutan
rakyat rata-rata ≥20 tahun. Hal ini memperlihatkan bahwa kehidupan mereka sudah menyatu dengan hutan rakyat. Sementara tingkat pendidikan umumnya hanya sampai
tingkat SD atau sederajat sehingga pengetahuan dan kemampuan terbatas. Lahan
garapan yang dimiliki tidak dalam satu hamparan namun terdiri dari beberapa
tempat (blok) minimal seluas 30 bata
atau setara dengan 420 m2(1 bata = 14 m2).
Menurut mata pencaharian atau pekerjaan serta bentuk produk hutan rakyat dipasarkan sebagaimana pada Tabel 2.
Tabel 2.
Pekerjaan dan Bentuk Produk di Pasarkan.
1.
Desa Cisarua
|
Pekerjaan
|
Bentuk Produk di Pasarkan
|
|||
No.
|
Jumlah
Responden
|
Utama
|
Sampingan
|
Manglid
|
Kapulaga
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
1
|
12
|
Tani
|
Tani
|
Pohon masih berdiri di kebun secara perorangan,
penentu harga pembeli
|
Setelah pemananen buah dalam keadaan basah secara
perorangan, penentu harga pembeli
|
2
|
4
|
Tani
|
Buruh tani
|
||
3
|
1
|
Tani
|
Pedagang pengepul Kapulaga
|
||
4
|
1
|
Tani
|
Pedagang pengepul Kayu
|
||
5
|
1
|
Pedagang sembako
|
Tani
|
||
6
|
1
|
Tani
|
Penyiar kayu
|
||
|
|
|
|
|
|
2. Desa Sodonghilir
|
|||||
No.
|
Jumlah
Responden
|
Utama
|
Sampingan
|
Manglid
|
Kapulaga
|
1
|
15
|
Tani
|
Tani
|
Pohon masih berdiri di kebun secara perorangan,
penentu harga pembeli
|
Setelah pemananen buah dalam keadaan basah dan
kering secara perorangan, penentu harga pembeli
|
2
|
2
|
Tani
|
Buruh tani
|
||
3
|
1
|
Tani
|
Pedagang pengepul Kapulaga
|
||
4
|
1
|
PNS (Sekdes)
|
Tani
|
||
3. Desa Cimanggu
|
|||||
No.
|
Jumlah
Responden
|
Utama
|
Sampingan
|
Manglid
|
Kapulaga
|
1
|
14
|
Tani
|
Tani
|
Pohon masih berdiri di kebun secara perorangan,
penentu harga pembeli
|
Buah basah
ke lembaga KTH yang telah terbentuk,
penentu harga lembaga KTHR
|
2
|
5
|
Tani
|
Buruh tani
|
||
3
|
1
|
Tani
|
Pensiunan (PNS)
|
Sumber: data primer diolah, 2014
Pengelola hutan rakyat didominasi sebagai petani dan buruh tani. Mengingat kebutuhan ekonomi dan keterbatasan
kemampuan serta pengetahuan sehingga produk kayu dipasarkan masih berupa pohon
berdiri di kebun namun tidak demikian dengan kapulaga yang
dipasarkan setelah pemanenan. Kapulaga dipasarkan para petani anggota KTHR
Saluyu IV dan Budi Luhur IV umumnya masih dalam keadaan basah dan dilakukan secara
perorangan langsung ke lembaga pemasaran (pengepul)
di tingkat dusun atau desa, sedangkan di Desa Cimanggu melalui Lembaga Kelompok
Tani yang telah terbentuk.
C.
Peranan Lembaga Kelompok Tani Hutan
Rakyat (KTHR)
Lembaga kelompok tani merupakan suatu wadah yang dibentuk dengan tujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan para petani. Melalui wadah KTHR yang telah
terbentuk diharapkan memudahkan dalam memberikan keterampilan serta
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan. Namun masih ditemui beberapa
permasalahan dalam kelompok tani. Berdasarkan
hasil diskusi diperoleh data peranan dan permasalahan yang dihadap KTHR
disajikan pada Tabel 3.


Tabel 3 memperlihatkan anggota serta pengurus lembaga KTHR yang terlibat dalam diskusi diantaranya: Saluyu IV sebanyak 10 orang (33,33%), Budiluhur IV sebanyak
15 orang (33,33%) dan Taruna Tani Karya sebanyak 15 orang (42,85%). KTHR Saluyu
IV terbentuk karena supaya warga setempat bisa ikut terlibat dalam kegiatan
pengelolaan lahan pada Eks penebangan PT. Perhutani.
KTHR Budi Luhur IV dibentuk sebagai persyaratan
administrasi untuk menerima bantuan bibit penghijauan dan Gerhan dari
pemerintah.
Permasalahan yang ada diantaranya adalah keterbatasan SDM yang ada menyebabkan
lembaga yang telah terbentuk tidak berperan masimal. Selain itu belum memiliki
AD/ART yang merupakan pedoman dan aturan bagi kelompok, dan administrasi tidak
rapi dan lengkap.
Lain hal dengan KTHR Taruna Tani Karya yang terbentuk karena kesulitan untuk
mendapatkan sayuran di daerah sekitarnya kemudian membentuk kelompok tani
Cimanggu bergerak pemanfaatan lahan sekitar halaman rumah komoditi sayuran dan
bumbu dapur. Keberhasilan yang dicapai tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan
sehari-hari tetapi juga bisa dijual. Berawal
dari sini kemudian petani membentuk KTHR Taruna Tani Karya yang bergerak di
bidang pengelolaan hutan rakyat dengan komoditi kapulaga dibawah tegakan kayu.
Kegigihan serta proaktif pengurus sementara ini dapat mengakomodir kepentingan
dan keinginan anggotanya terutama komoditi kapulaga mulai dari pengelolaan
pasca panen sampai ke pemasaran. Mengingat telah memiliki sarana pendukung
mesin pengering dan kurang optimal dalam penggunaannya sehingga mengembangkan
tanaman “Jahe Paris” dibawah tegakan selain tanaman kapulaga. KTHR Taruna Tani
Jaya juga telah memiliki AD/ART serta administrasi yang dapat
dipertanggungjawabkan sehingga kelompok tersebut aktif.
Ketiga KTHR dimana dua lembaga KTHR tidak berfungsi sebagaimana
mestinya. Keadaan tersebut dikarenakan faktor-faktor penghambat diantaranya:
pengurus yang telah terpilih kurang
proaktif serta kurang partisipasi anggota, tidak dilengkapi AD/ART selain itu
administrasi tidak lengkap, keterbatasan tingkat pengetahuan dan kemampuan,
pengurus yang terpilih cukup disegani
namun keegoisannya tidak mau menerima saran dan masukan dari anggota,
serta terbentuknya KTHR hanya bertujuan untuk
menerima bantuan semata. Sebagaimana dikatakan Sutarto (2002) orang masuk ke
dalam organisasi tentunya dengan tujuan tertentu yang diharapkan dapat
menimbulkan kepuasan. Terbentuknya KTHRsecara umum bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan anggotanya. Menurut Mikkelsen
et.al. (1995) keberadaan lembaga
terbentuk berdasarkan partisipasi instrumental hanya untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan
partisipasi transformasional yaitu ingin mandiri dan
berswadaya.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas
perlu adanya perhatian berbagai pihak yang terkait untuk dapat
menguatkan kelembagaan yang telah terbentuk
dengan:
a.
Meningkatkan pertemuan antara petugas lapangan
dengan kelompok tani
b.
Meningkatkan SDM petani baik itu pengetahuan dan
keterampilan melalui diklat /kursus.
c.
Memfasilitasi pertemuan atau membuka peluang
pemasaran dengan para stakeholder.
d.
Memfasilitasi dan meyakinkan lembaga keuangan untuk
memberikan investasi permodalan.
e.
Melakukan kegiatan studi banding ke kelompok tani
yang lebih maju.
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Para petani pengelola hutan rakyat pola
agroforestri skala kecil selalu dihadapkan pada posisi tawar rendah pada saat
memasarkan produknya. Keadaan ini dikarenakan kebutuhan mendesak selain
itu pemasaran dilakukan secara
perorangan bahkan komoditi yang dijual belum layak untuk dipasarkan. Selain itu
keberadaan lembaga kelompok tani hanya sebagai persyaratan ke administrasian
dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Terbatasnya
tingkat pengetahuan dan kemampuan para petani baik pengurus maupun anggota,
sehingga peranan kelompok tani yang telah
terbentuk tidak berjalan sebagaimana mestinya. Keadaan ini terbukti dengan
belum terakomodirnya secara umum kepentingan para anggota yang menghasilkan produk dalam skala kecil.
Pada akhirnya memasarkan produk secara
perorangan sekalipun dalam tingkat posisi harga rendah.
B.
Saran
Peranan petugas penyuluh lapangan yang merupakan ujung tombak
pemerintahan instansi terkait masih sangat diperlukan dalam
rangka peningkatan kapasitas SDM. Selain
itu perlu keterlibatan berbagai stakeholder dalam penguatan kelembagaan
kelompok tani diantaranya melalui pendampingan terhadap kelompok tani yang
sudah terbentuk.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad., B., Soleh M., T. Puspitodjati.,
Darsono, dan N. Sutrisna 2009. Kajian
Pemanfaatan dan Pemasaran Hasil Hutan Rakyat. Laporan Hasil Penelitian Balai
Penelitian Kehutanan Ciamis. Tidak diterbitkan.
Irwanto. 2006. Focused Group Discussion. Penerbit
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Mikkelsen, B. 1995. Metode Penelitian
Partisipatoris dan Upaya Pemberdayaan. Panduan Bagi Praktisi Lapangan. terjemahan Matheos Nalle. Penerbit
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Rintuh C., dan Miar. 2005. Kelembagaan dan Ekonomi.
Edisi pertama.BPFE. Yogyakarta.
Sajogyo dan Pudjiwati. 2002. Sosiologi Pedesaan . Gajah Mada
University Press.
Sundawati, L.,Dodik R. 2008. Pemasaran
Produk-Produk Agroforestri. Kerjasama Fakultas Kehutanan-Institut Pertanian
Bogor World Agroforestri Centre (ICRAF). Bogor
Sutarto 2002. Dasar-Dasar Organisasi. Gajah Mada
University Press. . Yogyakarta